Kalau kita menggunakan pemahaman bahwa realita adalah kenyataan yang kita lihat di hadapan kita, dan film dokumenter adalah upaya untuk mendokumentasikan (merekam) realita semacam itu, maka usia film dokumenter sama tuanya dengan teknologi film itu sendiri.
Dikatakan demikian, karena sejak awal usaha manusia untuk mengembangkan teknologi yang mampu merekam gambar hidup, apa yang dilakukan adalah dengan merekam aneka peristiwa yang terjadi di hadapan mereka. Apa yang dilakukan Lumiere Bersaudara dalam persaingannya dengan George Eastman di akhir abad ke-18 dalam mewujudkan teknologi kamera film dan bioskop, mereka merekam bayi yang baru belajar berjalan, perjalanan kereta api, kapal laut bersandar di pelabuhan serta buruh pabrik pulang dari tempat kerja mereka.
Namun, apakah ini yang disebut sebagai film dokumenter? Pada akhir abad ke-19, seorang geolog yang dikontrak perusahaan minyak untuk melakukan explorasi di utara Benua Amerika, mendokumentasikan kehidupan keluarga Eskimo selama lebih dari 15 tahun. Kumpulan dokumentasi tersebut kemudian diedit menjadi sebuah film berjudul Nanook of the North, dan geolog tersebut adalah Robert J. Flagherty yang kemudian menjadi bapak film dokumenter. Apakah ini yang disebut film dokumenter masa kini? Sulit untuk mendapatkan jawaban yang tepat karena para pembuat film dokumenter yang terinspirasi para perintis ini kemudian mengembangkan beraneka pendekatan baru. Untuk apa? Semata karena mereka memerlukan bentuk-bentuk yang lebih tepat dalam mengeskspresikan pendapat mereka terhadap kejadian-kejadian di sekitar kehidupan manusia, bahkan di tempat-tempat yang tak terjangkau sebagian besar orang—ke hadapan para penonton, agar mereka bisa memetik pelajaran yang berguna dari realita tersebut.
Untuk ringkasnya, gaya atau bentuk film dokumenter dapat dibagi ke dalam 3 bagian besar. Pembagian ini merupakan ringkasan dari aneka ragam bentuk film dokumenter yang berkembang sepanjang sejarahnya. Mengapa kita perlu tahu ragam bentuk film dokumenter yang ada? Karena mengenali bentuk-bentuk film dokumenter ini, serta memahami kelebihan, kelemahan, keterbatasan dan keunggulannya akan bisa membantu usaha anda untuk menyampaikan pesan-pesan yang mendorong anda untuk membuat film dokumenter.
Expository
Dokumenter dalam kategori ini, menampilkan pesannya kepada penonton secara langsung, baik melalui presenter ataupun dalam bentuk narasi. Kedua bentuk tersebut tentunya akan berbicara sebagai orang ketiga kepada penonton secara langsung (ada kesadaran bahwa mereka sedang menghadapi penonton/banyak orang). Mereka juga cenderung terpisah dari cerita dalam film. Mereka cenderung memberikan komentar terhadap apa yang sedang terjadi dalam adegan, ketimbang menjadi bagian darinya. Itu sebabnya, pesan atau point of view dari expository dielaborasi lebih pada sound track ketimbang visual. Jika pada film fiksi gambar disusun berdasarkan kontinuitas waktu dan tempat yang berasaskan aturan tata gambar, maka pada dokumenter yang berbentuk expository, gambar disusun sebagai penunjang argumentasi yang disampaikan oleh narasi atau komentar presenter. Itu sebabnya, gambar disusun berdasarkan narasi yang sudah dibuat dengan prioritas tertentu.
Salah satu orang yang berperan dalam kemunculan bentuk dokumenter ini adalah John Grierson, yang menurutnya, pembuat dokumenter haruslah menempatkan dirinya sebagai seorang propagandis, yang mengangkat tema-tema dramatis dari kehidupan yang dekat di sekeliling kita sebagai sebuah kewajiban sosial atau kontribusi terhadap lingkungan dan budaya. Seorang pembuat film dokumenter, katanya, “bukanlah cermin, tetapi sebuah gada (palu besi yang besar)”. Hal ini memang tercermin dari film-film Grierson yang sering mengangkat persoalan seputar kehidupan sosial orang-orang kebanyakan. Pada masa itu, film dokumenter adalah barang baru, karena masyarakat masih menganggap layar lebar atau televisi adalah tempat artis, celebritis dan tokoh masyarakat, bukan tempat kita menonton perilaku wong cilik. Itu sebabnya film-film Grierson banyak bercerita tentang buruh, gelandangan, dll.
Pada perkembangannya, sewaktu peralatan kamera dan perekam suara portabel ditemukan, expository juga menggunakan format wawancara yang memungkinkan orang—selain pembuat film—bisa memberikan komentar, baik secara langsung atau sebagai voice over, demikian juga penggunaan archival footage seperti foto, film footage, gambar, dll. Inilah yang kemudian menjadi mainstream dokumenter di televisi.
Argumentasi yang dibangun dalam expository umumnya bersifat didaktik, bertendensi memaparkan informasi secara langsung kepada penonton, bahkan mampu mempertanyakan baik-buruk suatu fenomena berdasarkan pijakan moral tertentu dan umumnya mengarahkan penonton pada satu kesimpulan secara langsung. Agaknya inilah yang membuat bentuk expository popular di kalangan televisi, karena ia menghadirkan sebuah sudut pandang yang jelas (it presents its point of view clearly) dan menutup kemungkinan adanya misinterpertasi.
Namun dari segala kelebihan tersebut, justru expository banyak mendapat kritikan karena cenderung menjelaskan makna dari gambar yang ditampilkan. Seolah mereka tidak yakin kalau gambar-gambar tersebut mampu menyampaikan pesannya sendiri. Bahkan, expository cenderung menempatkan pemirsanya seolah tak memiliki kemampuan untuk membuat kesimpulan sendiri. Dan tentu saja, kehadiran voice over cenderung membatasi bagaimana gambar harus dimaknai. Selain itu, karena gambar disusun bukan bersarkan audio yang terdapat dalam gambar tersebut (suara atmosfer yang terekam saat shooting atau dialog yang terdapat dalam gambar tersebut), melainkan berdasarkan narasi yang sudah dibuat sebelumnya, ia menjadi kehilangan konteks. Tak heran kalau susunan gambarnya tidak memiliki kontinuitas, serta koherensi. Coba anda tonton tayangan seperti ini tanpa audio, pasti akan sulit sekali untuk menangkap makna film tersebut.
Namun, sesungguhnya tidak ada yang salah dengan penggunaan voice over (VO) atau narasi. Dalam banyak kasus, kehadiran narasi atau VO sangat diperlukan. Misalnya apabila visual dirasa kurang mampu atau tidak bisa memberikan informasi yang memadai tentang apa yang hendak disampaikan. Atau tidak tersedia visual yang betul-betul kuat untuk mengungkap pesan yang ingin disampaikan. Selama penggunaannya dilakukan secara cantik, efektif, dan informatif, VO atau narasi akan sangat membantu. Seringkali pembuat film menggunakan VO atau narasi untuk memancing rasa ingin tahu penonton, lalu membiarkan gambar berikutnya memberikan penjelasannya. Kadang VO digunakan untuk mengkomentari visual secara ironis atau reflektif (suara hati, misalnya) tanpa harus berkotbah. Namun intinya, anda tidak perlu mengatakan sesuatu dan memperlihatkannya secara bersamaan. Atau jangan menjelaskan apa yang sudah jelas terlihat dalam gambar.
Observatory/Direct Cinema
Aliran ini muncul sebagai bentuk ketidakpuasan para pembuat film dokumenter terhadap model sebelumnya yang telah diuraikan diatas. Pendekatan yang bersifat observasi ini utamanya ingin merekam kejadian secara spontan, natural dan tidak dibuat-buat. Itu sebabnya, pendekatan ini menekankan pada kegiatan shooting yang informal tanpa tata lampu khusus ataupun persiapan-persiapan yang telah dirancang sebelumnya. Kekuatan mereka adalah kesabaran untuk menunggu kejadian-kejadian yang signifikan berlangsung di hadapan kamera.
Para penekun direct cinema berangkat dari keyakinan bahwa lewat pendekatan yang baik, kehadiran pembuat film beserta kameranya, akan diterima sebagai bagian dari keseharian para subjeknya. Bahkan pada kasus-kasus tertentu, kehadiran pembuat film dan kamera, sepertinya sudah tidak dianggap ada oleh subjek beserta keluarganya. Pembuat film berusaha agar kehadiran mereka sekecil mungkin memberikan pengaruh terhadap kehidupan keseharian dari para subjeknya.
Tentunya hal ini mensyaratkan proses pendekatan terhadap subjek dibangun dalam jangka waktu yang relatif panjang dan intens. Perkenalan yang baik di tahap awal memegang peranan penting agar pembuat film dapat diterima. Pembuat film akan berusaha bergaul seakrab mungkin dengan subjek sambil membangun kepercayaan. Hal ini biasa dilakukan di tahap riset. Dibutuhkan waktu yang cukup panjang sebelum pembuat film kemudian membawa kamera dan melakukan pengambilan gambar. Setelah pembuat film merasa kehadirannya di lingkungan subjek sudah tidak lagi dirasa asing dan tidak lagi dipertanyakan, barulah pembuat film mulai memperkenalkan kehadiran kamera. Proses shooting pun mengikuti rutinitas yang biasa dilakukan oleh subjek sehari-hari. Hal ini dilakukan karena aliran ini cenderung tidak ingin memberikan kesan bahwa para subjeknya sedang dalam kegiatan khusus untuk keperluan pengambilan gambar. Pembuat film tidak ingin para subjeknya ber-acting di depan kamera dan melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak biasa mereka lakukan sehari-hari. Oleh karenanya, sebisa mungkin keberadaan kamera diusahakan tidak tampil menonjol.
Kemunculan aliran ini tidak lepas kaitannya dengan teknologi baru dalam dunia perfilman yang menghadirkan peralatan-peralatan yang semakin kompak, kecil dan mudah dioperasikan serta memiliki kemampuan mobilitas yang tinggi. Kehadiran wireless microphone serta directional microphone dengan fokus yang sempit dan sensitif terhadap jarak, menjadi salah satu andalan.
Direct Cinema memang berhasil menghadirkan kesan intim antara subjek dengan penonton. Subjek secara spontan menyampaikan persoalan yang mereka hadapi. Tidak saja melalui ucapan langsung ke kamera, namun melalui tindakan, kegiatan serta percakapan yang dilakukan dengan subjek-subjek lain secara aktual. Sehingga, penonton merasa dihadapkan pada realita yang sesungguhnya.
Karena kamera mampu menangkap kegiatan serta percakapan-percakapan yang spontan, intim, dan alami inilah, para penggiat aliran ini kemudian meninggalkan penggunaan narasi. Bahkan kehadiran narasi jadi dianggap menggangu. Narasi menjadi elemen yang asing dalam susunan gambar. Narasi dianggap mereduksi dan membatasi realita yang ditampilkan. Logika dalam narasi juga dianggap bertendensi menjelas-jelaskan serta menggurui penonton. Wawancara yang bersifat formal juga dihindari. Pembuat film lebih tertarik untuk mengikuti apa yang diperbuat subjek ketimbang mendengarkan ocehan mereka, sehingga subjek tampil lebih sebagai individu yang unik, bukan mewakili kategori-kategori tertentu. Hal ini dilakukan karena pembuat film ingin memfilmkan pengalaman hidup ketimbang membuat kesimpulan atau pelaporan.
Konsekuensi lain dari direct cinema adalah, pembabakan dalam film ditata, utamanya menggunakan semua elemen kejadian yang berhasil direkam. Itu sebabnya, pekerjaan mengedit dalam aliran ini menjadi lebih berat lagi. Tanpa kehadiran narasi, susunan gambar harus tepat, saling menjalin dalam struktur sebab-akibat yang jelas dan logis sehingga mampu menjelaskan segala informasi yang dibutuhkan penonton. Apa yang telah dirancang berdasarkan hasil riset yang telah dilakukan secara mendalam, belum tentu mampu berhasil di dapat pada tahap perekaman. Karena pembuat film berusaha seminimal mungkin melakukan pengarahan seara langsung kepada subjek-subjek filmnya. Penggunaan teknik handheld-pun menjadi lebih dominan mengingat kecilnya kemungkinan pembuat film melakukan persiapan yang cukup untuk melakukan penempatan kamera dengan tripod secara terencana. Penggunaan lensa wide angle juga menjadi penting untuk memberikan kesan penonton hadir ditengah-tengah arena yang sedang berlangsung.
Direct Cinema percaya bahwa film dokumenter bisa bertindak bak sebuah cermin bagi suatu realitas. Itu sebabnya, mereka berusaha agar kehidupan yang mereka rekam menceritakan sendiri persoalanya, dan pembuat film hanya menjadi alat bantu untuk merefleksikannya ke layar. Sementara penonton diberi kebebasan untuk menginterpretasi susunan gambar. Berbagai informasi yang signifikan diletakan oleh pembuat film dalam susunan yang tidak ketat dan diusahana tidak mengalami reduksi, sehingga memberikan kesempatan kepada penonton untuk menyusun logikanya sendiri.
Reflexive/Cinéma Vérité
Berbeda dengan kaum observer yang cenderung tidak mau melakukan intervensi dan cenderung menunggu krisis terjadi, kalangan cinéma vérité justru secara aktif melakukan intervensi dan menggunakan kamera sebagai alat pemicu untuk memunculkan krisis. Dalam aliran ini, pembuat film cenderung secara sengaja memprovokasi untuk memunculkan kejadian-kejadian tak terduga.
Cinéma vérité tidak percaya kalau kehadiran kamera tidak mempengaruhi penampilan keseharian subjek, walaupun sudah diusahakan tidak tampil dominan. Menurut mereka, kehadiran pembuat film dan kameranya pasti akan mengganggu keseharian subjek. Tidak mungkin subjek tidak memperhitungkan adanya kehadiran orang lain dan kamera. Subjek pasti memiliki agenda-agenda mereka sendiri terkait dengan keterlibatan mereka dalam proses pembuatan dokumenter tersebut. Oleh karenanya, ketimbang berusaha membuat subjek lengah terhadap kehadiran pembuat film dan kamera—yang menurut mereka tidak mungkin terjadi—pergunakan saja kamera sebagai alat provokasi untuk memunculkan krisis atau ide-ide baru yang spontan dari kepala subjek.
Pendekatan ini sangat menyadari adanya proses representasi yang terbangun antara pembuat film dengan penonton seperti halnya pembuat film dengan subjeknya. Itu sebabnya, pembuat film dalam aliran ini tidak berusaha bersembunyi, mereka justru tampil menempatkan diri sebagai orang pertama, sebagai penyampai issue sehingga tidak jarang mereka tampil langsung di kamera atau berbicara kepada subjek, kepada penonton ataupun kepada dirinya sendiri. Pembuat film berbicara langsung ke kamera ataupun melalui voice over. Bahkan ada berapa pembuat film yang merasa perlu menampilkan proses kegiatan perekaman-aktivitas kru in-frame langsung atau melalui bayangan di cermin selama rekaman berlangsung—untuk mengingatkan penonton bahwa kru film juga bagian dari proses komunikasi yang sedang mereka lakukan.
Dikatakan demikian, karena sejak awal usaha manusia untuk mengembangkan teknologi yang mampu merekam gambar hidup, apa yang dilakukan adalah dengan merekam aneka peristiwa yang terjadi di hadapan mereka. Apa yang dilakukan Lumiere Bersaudara dalam persaingannya dengan George Eastman di akhir abad ke-18 dalam mewujudkan teknologi kamera film dan bioskop, mereka merekam bayi yang baru belajar berjalan, perjalanan kereta api, kapal laut bersandar di pelabuhan serta buruh pabrik pulang dari tempat kerja mereka.
Namun, apakah ini yang disebut sebagai film dokumenter? Pada akhir abad ke-19, seorang geolog yang dikontrak perusahaan minyak untuk melakukan explorasi di utara Benua Amerika, mendokumentasikan kehidupan keluarga Eskimo selama lebih dari 15 tahun. Kumpulan dokumentasi tersebut kemudian diedit menjadi sebuah film berjudul Nanook of the North, dan geolog tersebut adalah Robert J. Flagherty yang kemudian menjadi bapak film dokumenter. Apakah ini yang disebut film dokumenter masa kini? Sulit untuk mendapatkan jawaban yang tepat karena para pembuat film dokumenter yang terinspirasi para perintis ini kemudian mengembangkan beraneka pendekatan baru. Untuk apa? Semata karena mereka memerlukan bentuk-bentuk yang lebih tepat dalam mengeskspresikan pendapat mereka terhadap kejadian-kejadian di sekitar kehidupan manusia, bahkan di tempat-tempat yang tak terjangkau sebagian besar orang—ke hadapan para penonton, agar mereka bisa memetik pelajaran yang berguna dari realita tersebut.
Untuk ringkasnya, gaya atau bentuk film dokumenter dapat dibagi ke dalam 3 bagian besar. Pembagian ini merupakan ringkasan dari aneka ragam bentuk film dokumenter yang berkembang sepanjang sejarahnya. Mengapa kita perlu tahu ragam bentuk film dokumenter yang ada? Karena mengenali bentuk-bentuk film dokumenter ini, serta memahami kelebihan, kelemahan, keterbatasan dan keunggulannya akan bisa membantu usaha anda untuk menyampaikan pesan-pesan yang mendorong anda untuk membuat film dokumenter.
Expository
Dokumenter dalam kategori ini, menampilkan pesannya kepada penonton secara langsung, baik melalui presenter ataupun dalam bentuk narasi. Kedua bentuk tersebut tentunya akan berbicara sebagai orang ketiga kepada penonton secara langsung (ada kesadaran bahwa mereka sedang menghadapi penonton/banyak orang). Mereka juga cenderung terpisah dari cerita dalam film. Mereka cenderung memberikan komentar terhadap apa yang sedang terjadi dalam adegan, ketimbang menjadi bagian darinya. Itu sebabnya, pesan atau point of view dari expository dielaborasi lebih pada sound track ketimbang visual. Jika pada film fiksi gambar disusun berdasarkan kontinuitas waktu dan tempat yang berasaskan aturan tata gambar, maka pada dokumenter yang berbentuk expository, gambar disusun sebagai penunjang argumentasi yang disampaikan oleh narasi atau komentar presenter. Itu sebabnya, gambar disusun berdasarkan narasi yang sudah dibuat dengan prioritas tertentu.
Salah satu orang yang berperan dalam kemunculan bentuk dokumenter ini adalah John Grierson, yang menurutnya, pembuat dokumenter haruslah menempatkan dirinya sebagai seorang propagandis, yang mengangkat tema-tema dramatis dari kehidupan yang dekat di sekeliling kita sebagai sebuah kewajiban sosial atau kontribusi terhadap lingkungan dan budaya. Seorang pembuat film dokumenter, katanya, “bukanlah cermin, tetapi sebuah gada (palu besi yang besar)”. Hal ini memang tercermin dari film-film Grierson yang sering mengangkat persoalan seputar kehidupan sosial orang-orang kebanyakan. Pada masa itu, film dokumenter adalah barang baru, karena masyarakat masih menganggap layar lebar atau televisi adalah tempat artis, celebritis dan tokoh masyarakat, bukan tempat kita menonton perilaku wong cilik. Itu sebabnya film-film Grierson banyak bercerita tentang buruh, gelandangan, dll.
Pada perkembangannya, sewaktu peralatan kamera dan perekam suara portabel ditemukan, expository juga menggunakan format wawancara yang memungkinkan orang—selain pembuat film—bisa memberikan komentar, baik secara langsung atau sebagai voice over, demikian juga penggunaan archival footage seperti foto, film footage, gambar, dll. Inilah yang kemudian menjadi mainstream dokumenter di televisi.
Argumentasi yang dibangun dalam expository umumnya bersifat didaktik, bertendensi memaparkan informasi secara langsung kepada penonton, bahkan mampu mempertanyakan baik-buruk suatu fenomena berdasarkan pijakan moral tertentu dan umumnya mengarahkan penonton pada satu kesimpulan secara langsung. Agaknya inilah yang membuat bentuk expository popular di kalangan televisi, karena ia menghadirkan sebuah sudut pandang yang jelas (it presents its point of view clearly) dan menutup kemungkinan adanya misinterpertasi.
Namun dari segala kelebihan tersebut, justru expository banyak mendapat kritikan karena cenderung menjelaskan makna dari gambar yang ditampilkan. Seolah mereka tidak yakin kalau gambar-gambar tersebut mampu menyampaikan pesannya sendiri. Bahkan, expository cenderung menempatkan pemirsanya seolah tak memiliki kemampuan untuk membuat kesimpulan sendiri. Dan tentu saja, kehadiran voice over cenderung membatasi bagaimana gambar harus dimaknai. Selain itu, karena gambar disusun bukan bersarkan audio yang terdapat dalam gambar tersebut (suara atmosfer yang terekam saat shooting atau dialog yang terdapat dalam gambar tersebut), melainkan berdasarkan narasi yang sudah dibuat sebelumnya, ia menjadi kehilangan konteks. Tak heran kalau susunan gambarnya tidak memiliki kontinuitas, serta koherensi. Coba anda tonton tayangan seperti ini tanpa audio, pasti akan sulit sekali untuk menangkap makna film tersebut.
Namun, sesungguhnya tidak ada yang salah dengan penggunaan voice over (VO) atau narasi. Dalam banyak kasus, kehadiran narasi atau VO sangat diperlukan. Misalnya apabila visual dirasa kurang mampu atau tidak bisa memberikan informasi yang memadai tentang apa yang hendak disampaikan. Atau tidak tersedia visual yang betul-betul kuat untuk mengungkap pesan yang ingin disampaikan. Selama penggunaannya dilakukan secara cantik, efektif, dan informatif, VO atau narasi akan sangat membantu. Seringkali pembuat film menggunakan VO atau narasi untuk memancing rasa ingin tahu penonton, lalu membiarkan gambar berikutnya memberikan penjelasannya. Kadang VO digunakan untuk mengkomentari visual secara ironis atau reflektif (suara hati, misalnya) tanpa harus berkotbah. Namun intinya, anda tidak perlu mengatakan sesuatu dan memperlihatkannya secara bersamaan. Atau jangan menjelaskan apa yang sudah jelas terlihat dalam gambar.
Observatory/Direct Cinema
Aliran ini muncul sebagai bentuk ketidakpuasan para pembuat film dokumenter terhadap model sebelumnya yang telah diuraikan diatas. Pendekatan yang bersifat observasi ini utamanya ingin merekam kejadian secara spontan, natural dan tidak dibuat-buat. Itu sebabnya, pendekatan ini menekankan pada kegiatan shooting yang informal tanpa tata lampu khusus ataupun persiapan-persiapan yang telah dirancang sebelumnya. Kekuatan mereka adalah kesabaran untuk menunggu kejadian-kejadian yang signifikan berlangsung di hadapan kamera.
Para penekun direct cinema berangkat dari keyakinan bahwa lewat pendekatan yang baik, kehadiran pembuat film beserta kameranya, akan diterima sebagai bagian dari keseharian para subjeknya. Bahkan pada kasus-kasus tertentu, kehadiran pembuat film dan kamera, sepertinya sudah tidak dianggap ada oleh subjek beserta keluarganya. Pembuat film berusaha agar kehadiran mereka sekecil mungkin memberikan pengaruh terhadap kehidupan keseharian dari para subjeknya.
Tentunya hal ini mensyaratkan proses pendekatan terhadap subjek dibangun dalam jangka waktu yang relatif panjang dan intens. Perkenalan yang baik di tahap awal memegang peranan penting agar pembuat film dapat diterima. Pembuat film akan berusaha bergaul seakrab mungkin dengan subjek sambil membangun kepercayaan. Hal ini biasa dilakukan di tahap riset. Dibutuhkan waktu yang cukup panjang sebelum pembuat film kemudian membawa kamera dan melakukan pengambilan gambar. Setelah pembuat film merasa kehadirannya di lingkungan subjek sudah tidak lagi dirasa asing dan tidak lagi dipertanyakan, barulah pembuat film mulai memperkenalkan kehadiran kamera. Proses shooting pun mengikuti rutinitas yang biasa dilakukan oleh subjek sehari-hari. Hal ini dilakukan karena aliran ini cenderung tidak ingin memberikan kesan bahwa para subjeknya sedang dalam kegiatan khusus untuk keperluan pengambilan gambar. Pembuat film tidak ingin para subjeknya ber-acting di depan kamera dan melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak biasa mereka lakukan sehari-hari. Oleh karenanya, sebisa mungkin keberadaan kamera diusahakan tidak tampil menonjol.
Kemunculan aliran ini tidak lepas kaitannya dengan teknologi baru dalam dunia perfilman yang menghadirkan peralatan-peralatan yang semakin kompak, kecil dan mudah dioperasikan serta memiliki kemampuan mobilitas yang tinggi. Kehadiran wireless microphone serta directional microphone dengan fokus yang sempit dan sensitif terhadap jarak, menjadi salah satu andalan.
Direct Cinema memang berhasil menghadirkan kesan intim antara subjek dengan penonton. Subjek secara spontan menyampaikan persoalan yang mereka hadapi. Tidak saja melalui ucapan langsung ke kamera, namun melalui tindakan, kegiatan serta percakapan yang dilakukan dengan subjek-subjek lain secara aktual. Sehingga, penonton merasa dihadapkan pada realita yang sesungguhnya.
Karena kamera mampu menangkap kegiatan serta percakapan-percakapan yang spontan, intim, dan alami inilah, para penggiat aliran ini kemudian meninggalkan penggunaan narasi. Bahkan kehadiran narasi jadi dianggap menggangu. Narasi menjadi elemen yang asing dalam susunan gambar. Narasi dianggap mereduksi dan membatasi realita yang ditampilkan. Logika dalam narasi juga dianggap bertendensi menjelas-jelaskan serta menggurui penonton. Wawancara yang bersifat formal juga dihindari. Pembuat film lebih tertarik untuk mengikuti apa yang diperbuat subjek ketimbang mendengarkan ocehan mereka, sehingga subjek tampil lebih sebagai individu yang unik, bukan mewakili kategori-kategori tertentu. Hal ini dilakukan karena pembuat film ingin memfilmkan pengalaman hidup ketimbang membuat kesimpulan atau pelaporan.
Konsekuensi lain dari direct cinema adalah, pembabakan dalam film ditata, utamanya menggunakan semua elemen kejadian yang berhasil direkam. Itu sebabnya, pekerjaan mengedit dalam aliran ini menjadi lebih berat lagi. Tanpa kehadiran narasi, susunan gambar harus tepat, saling menjalin dalam struktur sebab-akibat yang jelas dan logis sehingga mampu menjelaskan segala informasi yang dibutuhkan penonton. Apa yang telah dirancang berdasarkan hasil riset yang telah dilakukan secara mendalam, belum tentu mampu berhasil di dapat pada tahap perekaman. Karena pembuat film berusaha seminimal mungkin melakukan pengarahan seara langsung kepada subjek-subjek filmnya. Penggunaan teknik handheld-pun menjadi lebih dominan mengingat kecilnya kemungkinan pembuat film melakukan persiapan yang cukup untuk melakukan penempatan kamera dengan tripod secara terencana. Penggunaan lensa wide angle juga menjadi penting untuk memberikan kesan penonton hadir ditengah-tengah arena yang sedang berlangsung.
Direct Cinema percaya bahwa film dokumenter bisa bertindak bak sebuah cermin bagi suatu realitas. Itu sebabnya, mereka berusaha agar kehidupan yang mereka rekam menceritakan sendiri persoalanya, dan pembuat film hanya menjadi alat bantu untuk merefleksikannya ke layar. Sementara penonton diberi kebebasan untuk menginterpretasi susunan gambar. Berbagai informasi yang signifikan diletakan oleh pembuat film dalam susunan yang tidak ketat dan diusahana tidak mengalami reduksi, sehingga memberikan kesempatan kepada penonton untuk menyusun logikanya sendiri.
Reflexive/Cinéma Vérité
Berbeda dengan kaum observer yang cenderung tidak mau melakukan intervensi dan cenderung menunggu krisis terjadi, kalangan cinéma vérité justru secara aktif melakukan intervensi dan menggunakan kamera sebagai alat pemicu untuk memunculkan krisis. Dalam aliran ini, pembuat film cenderung secara sengaja memprovokasi untuk memunculkan kejadian-kejadian tak terduga.
Cinéma vérité tidak percaya kalau kehadiran kamera tidak mempengaruhi penampilan keseharian subjek, walaupun sudah diusahakan tidak tampil dominan. Menurut mereka, kehadiran pembuat film dan kameranya pasti akan mengganggu keseharian subjek. Tidak mungkin subjek tidak memperhitungkan adanya kehadiran orang lain dan kamera. Subjek pasti memiliki agenda-agenda mereka sendiri terkait dengan keterlibatan mereka dalam proses pembuatan dokumenter tersebut. Oleh karenanya, ketimbang berusaha membuat subjek lengah terhadap kehadiran pembuat film dan kamera—yang menurut mereka tidak mungkin terjadi—pergunakan saja kamera sebagai alat provokasi untuk memunculkan krisis atau ide-ide baru yang spontan dari kepala subjek.
Pendekatan ini sangat menyadari adanya proses representasi yang terbangun antara pembuat film dengan penonton seperti halnya pembuat film dengan subjeknya. Itu sebabnya, pembuat film dalam aliran ini tidak berusaha bersembunyi, mereka justru tampil menempatkan diri sebagai orang pertama, sebagai penyampai issue sehingga tidak jarang mereka tampil langsung di kamera atau berbicara kepada subjek, kepada penonton ataupun kepada dirinya sendiri. Pembuat film berbicara langsung ke kamera ataupun melalui voice over. Bahkan ada berapa pembuat film yang merasa perlu menampilkan proses kegiatan perekaman-aktivitas kru in-frame langsung atau melalui bayangan di cermin selama rekaman berlangsung—untuk mengingatkan penonton bahwa kru film juga bagian dari proses komunikasi yang sedang mereka lakukan.
0 komentar:
Posting Komentar